BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Umur perkawinan pertama merupakan salah satu
indikator kependudukan terkait dengan fertilitas. Umur perkawinan pertama
adalah indikator dimulainya seorang perempuan berpeluang untuk hamil dan
melahirkan, dengan demikian perkawinan pada usia muda akan mempunyai rentan
waktu untuk hamil dan melahirkan dalam waktu yang lebih panjang dibanding pada
perempuan yang menikah pada usia yang lebih tua. Di indonesia perkawinan usia
sangat muda terjadi sekitar umur 10-14 tahun terjadi paling tinggi di provinsi
kalimantan selatan sekitar 9% sedangkan provinsi banten menduduki urutan ke
empat.
Berikut ini presentase perempuan usia 10-59 tahun menurut umur perkawinan pertama di provinsi banten
Riskesda 2010 :
provinsi
|
10-14
|
15-19
|
20-24
|
25-29
|
30-34
|
35+
|
Tidak
menjawab/lupa
|
Rata-rata
tahun
|
Banten
|
6,5
|
45,7
|
29,9
|
8,8
|
1,2
|
0,2
|
7,7
|
19,6
|
Perkawinan usia sangat muda (10-14 tahun) banyak
terjadi pada perempuan di daerah pedesaan, pendidikan rendah, status ekonomi
termiskin dan kelompok petani/nelayan/buruh. Hal ini sebenarnya sudah terjadi
sejak dulu, semakin rendah pendidikan akan semakin tinggi presentasi perkawinan
pada usia dini, sebaliknya semakin tinggi pendidikan presentasi usia perkawinan
pertama pada usia dini akan semakin kecil.
1.2
Rumusan Masalah
Dukungan psikologis pada usia muda
diperkawinan dini menyambut persalinan
1.3
Tujuan penulisan
1.3.1
Tujuan Umum
Untuk mendapatakan gambaran umum
tentang pernikahan dini
1.3.2
Tujuan khusus
a. Dapat
melakukan pengkajian terhadap klien dan
keluarga tentang pernikahan dini.
b. Dapat
melakukan asuhan kehamilan dari dampak perkawinan dini
c. Dapat
melaksanakan tindakan keperawatan terhadap klien akibat dari pernikahan dini
d. Dapat
melakukan evaluasi terhadap tindakan yang telah dilakukan.
1.4
Manfaat Penulisan
1.4.1
Bagi Rumah Bersalin / BPM
Untuk
membantu rumah bersalin dalam melakukan
pelayanan terhadap klien dengan memberikan
pengertian dan pengaruh pernikahan dini pada klien yeng belum memahami
tentang pernikahan dini dampak dan pengaruhnya.
1.4.2
Bagi Pendidikan
Membantu
Mahasiswa dalam menambah wawasan dan
pengetahuan tentsng pernikahan dini
dengan terjun langsung dan melakukan
perawatan terhadap klien langsung.
1.4.3
Bagi klien / Masyarakat
Menanbah
wawasan bagi mereka dan menyadarkan
mereka tentang arti pernikahan dini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Usia Perkawinan
Pendewasaan
usia perkawinan (PUP) adalah upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan
pertama, sehingga pada saat perkawinan mencapai usia minimal 20 tahun bagi
perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. Batasan usia ini dianggap sudah siap
baik dipandang dari sisi kesehatan maupun perkembangan emosional untuk
menghadapi kehidupan berkeluarga. PUP bukan sekedar menunda perkawinan sampai
usia tertentu saja, akan tetapi mengusahakan agar kehamilan pertama terjadi
pada usia yang cukup dewasa. Apabilaseseorang gagal mendewasakan usia
perkawinannya, maka diupayakan adanya penundaan kelahiran anak pertama.
Penundaan kehamilan dan kelahiran anak pertama ini dalam istilah KIE disebut
sebagai anjuran untuk mengubah bulan madu menjadi tahun madu.
Pendewasaan
usia perkawinan merupakan bagian dari program Keluarga Berencana Nasional.
Program PUP akan memberikan dampak terhadap peningkatan umur kawin pertama yang
pada gilirannya akan menurunkan Total
Fertility Rate (TFR).
Tujuan
Program Pendewasaan Usia Perkawinan adalah memberikan pengertian dan kesadaran
kepada remaja agar di dalam merencanakan keluarga, mereka dapat
mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan berkeluarga,
kesiapan fisik, mental, emosional, pendidikan, sosial, ekonomi, serta
menentukan jumlah dan jarak kelahiran. Tujuan PUP seperti ini berimplikasi pada
perlunya peningkatan usia kawin yang lebih dewasa. Program PUP dalam program KB
bertujuan meningkatkan usia kawin perempuan pada usia 21 tahun serta menurunkan
kelahiran pertama pada usia ibu dibawah 21 tahun menjadi sekitar 7% (RPJM
2010-2014).
2.2
Tren Usia Kawin di Indonesia
Hasil
data SDKI tahun 2007 menunjukkan median usia kawin pertama berada pada usia
19,8 tahun sementara hasil SDKI 2002-2003 menunjukkan angka 19,2 tahun. Angka
ini mengindikasikan bahwa separuh dari pasangan usia subur ini di Indonesia
menikah dibawah usia 20 tahun. Lebih lanjut data SDKI 2007 menunjukkan bahwa
angka kehamilan dan kelahiran usia muda (<20 tahun) masih sekitar 8,5%.
Angka ini turun dibandingkan kondisi pada SDKI 2002-2003 yaitu 10,2%.
Apabila
pencapaian dilihat selama 5 tahun terakhir, pencapaian usia kehamilan pertama
19,2 tahun (2002-2003) menjadi 19,8 tahun (2007) berarti peningkatan hanya 0,6
sedangkan 5 tahun ke depan (2014) diharapkan bisa dinaikkan menjadi 21 tahun.
Jika pencapaian 5 tahun ke depan seperti 5 tahun terakhir maka untuk mencapai
21 tahun memerlukan waktu 2 kali lipat atau 10 tahun. Ini harus dijadikan
tantangan bagi program KB ke depan.
Dalam
survey kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007 remaja
berpendapat usia ideal menikah bagi perempuan adalah 23,1 tahun. Sedangkan usia
ideal menikah bagi laki-laki 25,6 tahun. Terdapat kenaikan jika dibandingkan
dengan hasil SKRRI 2002-2003 yaitu remaja berpendapat usia ideal menikah bagi
perempuan 20,9 tahun. Sedangkan usia ideal menikah bagi laki-laki 22,8 tahun.
Apabila
dilihat dari pendapat remaja dalam SKRRI 2007 ini, bisa dikatakan bahwa
sebenarnya remaja kita sudah memiliki pandangan yang baik tentang usia menikah
yang ideal. Hanya saja kondisi ini harus juga didukung oleh lingkungan keluarga
dan masyarakat. Pandangan terhadap usia ideal menikah ini juga harus diikuti
dengan pemahaman yang benar tentang perencanaan keluarga, kesiapan ekonomi
keluarga, serta kesiapan psikologi dalam berkeluarga.
2.3
Pendewasaan Usia Perkawinan dan
Perencanaan Keluarga
Pendewasaan
Usia Perkawinan dan Perencanaan Keluarga merupakan kerangka dari program
pendewasaan usia perkawinan. Kerangka ini terdiri dari 3 masa reproduksi,
yaitu masa menunda perkawinan dan
kehamilan, masa menjarangkan kehamilan, dan masa mencegah kehamilan.
Dibawah
ini akan diuraikan ciri dan langkah-langkah yang diperlukan bagi remaja apabila
memasuki ketiga masa reproduksi :
1. Masa
Menunda Perkawinan
Sehat adalah
suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas
dari penyakit atau kecacatan namun juga sehat secara mental dan sosiokultural.
Salah satu prasyarat untuk menikah adalah kesiapan secara fisik, yang sangat
menentukan adalah umur untuk melakukan pernikahan. secara biologis, fisik
manusia tumbuh berangsur-angsur sesuai dengan pertambahan usia. Elizabeth
mengungkapkan (Elizabeth B. Hurlock,1993,h. 189) bahwa pada laki-laki, organ
reproduksinya di usia 14 tahun baru sekitar 10% dari ukuran matang. Setelah
dewasa, ukuran dan proporsi tubuh berkembang, juga organ-organ reproduksi. Bagi
laki-laki, kematangan organ reproduksi terjadi pada usia 20 atau 21 tahun. Pada
perempuan, organ reproduksi tumbuh pesat pada usia 16 tahun. Pada masa tahun pertama menstruasi
dikenal dengan tahapan kemandulan remaja, yang tidak menghasilkan ovulasi atau
pematangan dan pelepasan telur yang mayang dri folikel dalam indung telur.
Organ reproduksi dianggap sudah cukup matang diatas usia 18 tahun, pada usia
ini rahim (uterus) bertambah panjang dan indung telur bertambah berat.
Dalam masa
reproduksi, usia dibawah 20 tahun dalam adalah usia yang dianjurkan untuk
menunda perkawinan dan kehamilan. Dalam usia ini seorang remaja masih dalam
proses tumbuh kembang baik secara fisik maupun psikis proses pertumbuhan
berakhir pada usia 20 tahun, dengan alasan ini maka dianjurkan perempuan
menikah pada usia 20 tahun. Apabila pasangan suami istri menikah pada usia
tersebut, maka dianjurkan untuk menunda kehamilan sampai usia istri 20 tahun
dengan menggunakan alat kontrasepsi.
Seorang
perempuan yang telah memasuki jenjang pernikahan maka ia harus mempersiapkan
diri untuk proses kehamilan dan melahirkan. Sementara itu jika ia menikah pada
usia dibawah 20 tahun, akan banyak resiko yang terjadi karena kondisi rahim dan
panggul belum berkembang optimal. Hal ini dapat mengakibatkan resiko kesakitan
dan kematian yang timbul selama proses kehamilan dan persalinan, yaitu :
a. Resiko
Pada Proses Kehamilan.
Perempuan yang
hamil pada usia dini atau remaja cenderung memiliki resiko kehamilan
dikarenakan kurangnya pengetahuaan dan ketidak siapan dalam menghadapi
kehamilannya. Akibat mereka kurang memperhatikan kehamilannya. Resiko yang
mungkin terjadi selama proses kehamilan adalah:
1. Keguguran
atau aborsi, yaitu berakhirnya proses kehamilan pada usia kurang dari 20
minggu.
2. Preeklampsia,
yaitu ketidak teraturan tekanan darah selama kehamilan dan eklampsia, yaitu
kejang pada kehamilan.
3. Infeksi,
yaitu peradangan yang terjadi pada kehamilan.
4. Anemia,
yaitu kurangnya kadar haemoglobin dalam darah.
5. Kanker
rahim, yaitu kanker yang terdapat dalam rahim, hal ini erat kaitannya dengan
belum sempurnanya perkembangan dinding rahim.
6. Kematian
bayi, yaitu bayi yang meninggal dalam usia kurang dari 1 tahun.
b. Resiko
Pada Proses Persalinan.
Melahirkan
mempunyai resiko kematian bagi semua perempuan. Bagi seorang perempuan yang
melahirkan kurang dari 20 tahun dimana secara fisik belum mencapai kematangan
maka resikonya akan semakin tinggi. Resiko yang mungkin terjadi adalah:
1.
Prematur, yaitu kelahiran bayi sebelum
usia kehamilan 37 minggu.
2.
Timbulnya kesulitan persalinan, yang
dapat disebabkan karena faktor dari ibu, bayi, dan proses persalinan.
3.
BBLR (Berat Bayi Lebih Rendah), yaitu
bayi yang lahir dengan berat dibawah 2500 gram.
4.
Kematian bayi, yaitu bayi yang meninggal
dalam usia kurang dari 1 tahun.
5.
Kelainan bawaan, yaitu kelainan atau
cacat yang terjadi dalam proses kehamilan.
2.
Masa Menunda Kehamilan.
Perempuan yang
menikah pada usia kurang dari 20 tahun dianjurkan untuk menunda kehamilannya
sampai usia minimal 20 tahun. Untuk menunda kehamilan pada masa ini ciri
kontrasepi yang diperlukan adalah kontrasepsi yang mempunyai reversibilitas dan
efektifitas tinggi. Kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, pil, IUD, metode
sederhana, implant, dan suntikan.
3.
Masa Menjarangkan Kehamilan.
Pada masa ini
usia istri antara 20-35 tahun, merupakan periode yang paling baik untuk hamil
dan melahirkan karena mempunyai resiko paling rendah baik ibu maupun anak.
Jarak ideal untuk menjarangkan kehamilan adalah 5 tahun sehingga tidak terdapat
2 balita dalam 1 periode. Ciri kontrasepsi yang dianjurkan pada masa ini adalah
alat kontrasepsi yang mempunyai reversibilitas dan efektifitas cukup tinggi,
dan tidak menghambat air susu ibu (ASI).
4. Masa
Mengakhiri Kehamilan.
Masa mengakhiri
kehamilan berada pada usia PUS diatas 35 tahun, sebab secara empirik diketahui
melahirkan anak diatas usia 30 tahun mengalami resiko medik. Ciri kontrasepsi
yang dianjurkan untuk masa ini adalah kontrasepsi yang mempunyai efektifitas
sangat tinggi, dapat dipakai untuk jangka panjang, dan tidak menambah kelainan
yang sudah ada (pada usia tua kelainan seperti penyakit jantung, darah tinggi,
keganasan, dan metabolik biasanya meningkat oleh karena itu sebaiknya tidak
diberikan kontrasepsi yang menambah kelainan tersebut).
2.4
Pendewasaan Usia Perkawinan dan Kesiapan
Ekonomi Keluarga
1. Ekonomi
keluarga
Ilmu ekonomi
merupakan cabang ilmu sosial yang mempelajari berbagai perilaku pelaku ekonomi
terhadap keputusan-keputusan. Ilmu ini diperlukan sebagai karangan berpikir
untuk dapat melakukan pilihan terhadap berbagai sumber daya yang terbatas untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Ilmu ekonomi muncul karena
adanya 3 kenyataan, yaitu kebutuhan manusia relatif tidak terbatas, sumber daya
tersedia secara terbatas, masing-masing sumber daya mempunyai alternatif
penggunaan.
Secara garis
besar ilmu ekonomi dapat dibedakan menjadi 2 bahasan, yaitu ilmu ekonomi makro
yaitu ilmu yang menganalisis kegiatan perekonomian secara keseluruhan seperti
pendapat nasional, kesepakatan kerja, dan tingkat harga pada umumnya, dan ilmu
ekonomi mikro yaitu ilmu yang mempelajari dan menganalisis bagian-bagian
tertentu dari keseluruhan kegiatan perekonomian seperti tingkah laku konsumen
dan tingkah laku produsen. Ekonomi keluarga termasuk dalam pembahasan ekonomi
mikro. Pembahasan ekonomi keluarga adalah pembahasan atau analisis yang
berkaitan dengan perilaku ekonomi keluarga yang dikaitkan dengan proses
permintaan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga.
Masalah
perekonomian keluarga adalah salah satu sumber disorganisasi dalam keluarga.
Umumnya masalah keluarga mulai dari hal-hal kecil sampai pada perceraian
disebabkan karena masalah ekonomi keluarga.
Menurut
Undang-Undang nomor 10 tahun 1992 tentang Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Sejahtera, yang dimaksudkan dengan keluarga dinyatakan sebagai unit terkecil
dalam masyarakat yang terdiri dari suami/isteri dengan anaknya atau ayah dengan
anaknya atau ibu dengan anaknya. Dan yang dimaksudkan keluarga sejahtera adalah
keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, maupun memenuhi
kebutuhan spiritual dan materi yang layak, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa
memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar keluarga dengan
masyarakat dan lingkungannya. Keluarga sejahtera dapat diklasifikasikan menurut
kelompok, yaitu Keluarga Pra Sejahtera, Keluarga Sejahtera Tahap I, Keluarga
Sejahtera Tahap II, Keluarga Sejahtera Tahap III, dan Keluarga Sejahtera Tahap
III+.
2. Jenis
Kebutuhan keluarga
a. Kebutuhan
Primer.
Kebutuhan primer
keluarga adalah kebutuhan yang benar-benar amat sangat dibutuhkan keluarga dan
sifatnya wajib dipenuhi. Contohnya kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
b. Kebutuhan
Sekunder.
Kebutuhan
sekunder keluarga adalah kebutuhan yang diperlukan setelah semua kebutuhan
pokok terpenuhi contohnya kebutuhan rekreasi, kebutuhan transportasi, kebutuhan
kesehatan, dan kebutuhan pendidikan.
c. Kebutuhan
Tersier.
Kebutuhan
tersier keluarga adalah kebutuhan manusia yang bersifatnya mewah, tidak
sederhana dan berlebihan yang timbul setelah terpenuhinya kebutuhan primer dan
kebutuhan sekunder. Contohnya adalah mobil, komputer, apartemen, dan lain
sebagainya.
3. Pendewasaan
Usia Perkawinan dan Kesiapan Ekonomi Keluarga
Kebutuhan
primer, sekunder, dan tersier keluarga seperti diuarikan diatas adalah fakta
yang tidak bisa dipungkiri. Setiap keluarga memerlukan ketiga jenis kebutuhan
tersebut. Kebutuhan primer keluarga apabila tidak dipenuhi akan menjadi sumber
permasalahan dari atau bagi keluarga bersangkutan seperti diuraikan dimuka.
Oleh sebab itu idealnya setiap calon suami/isteri harus sudah menyiapkan diri
untuk memenuhi kebutuhan primer keluarga apabila ingin melangsungkan pernikahan
untuk membentuk keluarga baru.
Implikasinya
apabila pasangan suami/isteri memenuhi kehidupan keluarga tanpa kesiapan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer (ekonomi) keluarganya berarti pasangan yang
bersangkutan akan mengalami banyak permasalahan dalam kehidupan berkeluarga.
Dan ini berarti konsep Keluarga Sejahtera yang diinginkan oleh UU no. 10 tahun
1992 akan sulit terwujud. Oleh sebab itu program PKBR menganjurkan setiap
remaja mempersiapkan diri secara ekonomi sebelum memasuki kehidupan rumah
tangga. Salah satu cara penyiapan diri tersebut adalah dengan menunda usia
perkawinan sampai dengan adanya kesiapan secara ekonomi bagi masing-masing
pasangan atau calon suami/isteri.
2.5
Pendewasaan Usia Perkawinan dan
Kematangan Psikologis Keluarga.
1. Gambaran
Psikologi Remaja.
Masa remaja
adalah masa peralihan atau masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa
dewasa (Hurlock, 1993). Pada masa ini, remaja mengalami beberapa perubahan
yaitu dalam aspek jasmani, rohani, emosional, sosial dan personal (WHO, 2002).
Selain perubahan fisik, remaja juga akan mengalami perubahan-perubahan pikiran,
perasaan, lingkungan pergaulan dan tanggung jawab yang dihadapi. Akibat
berbagai perubahan tersebut, remaja juga akan mengalami perubahan tingkah laku
yang dapat menimbulkan konflik dengan orang sekitarnya, seperti konflik dengan
orang tua atau lingkungan masyarakat sekitarnya. Konflik tersebut akibat adanya
perbedaan sikap, pandangan hidup, maupun norma yang berlaku dimasyarakat
(willis, 2008).
2. Batasan
Usia Remaja.
Hurlock (1993)
membagi tahapan usia remaja berdasarkan perkembangan psikologis, sebagai
berikut:
a. Pra
remaja (11-13 tahun)
Pra remaja ini merupakan masa yang
sangat pendek yaitu kurang lebih hanya 1 tahun. Pada masa ini dikatakan juga
sebagai fase yang negatif, hal tersebut dapat terlihat dari tingkah laku mereka
yang cenderung negatif, sehingga fase ini merupakan fase yang sulit bagi anak
maupun orang tuanya.
b. Remaja
Awal (14-17 tahun)
Pada masa ini, perubahan-perubahan
fisik terjadi sangat pesat dan mencapai pada puncaknya. Ketidak seimbangan
emosional dan ketidak stabilan dalam banyak hal terdapat pada masa ini. Remaja
berupaya mencari identitas dirinya, sehingga statusnya tidak jelas. Selain itu,
pada masa ini terjadi perubahan pola-pola hubungan sosial.
c. Remaja
Lanjut (18-21 tahun).
Dirinya ingin
selalu menjadi pusat perhatian dan ingin menonjolkan diri. Remaja mulai
bersikap idealis, mempunyai ciri-ciri tinggi, bersemangat dan mempunyai energi
yang sagat besar. Selain itu, remaja mulai memantapkan identitas diri dan ingin
mencapai ketidak tergantungan emosional.
d. Ciri
Psikologis Remaja.
1. Remaja
merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa
berubah dengan sangat cepat. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para
remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah,
atau kegiatan sehari-hari dirumah.
2. Remaja
mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness).
Mereka sangat rentan terhadap pendapat oranglain karena mereka menganggap bahwa
orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka, seperti mereka
mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri.
3. Remaja
sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image).
Remaja cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya
keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran.
4. Para
remaja juga sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali
mereka terlihat tidak memikirkan akibat dari perbuatan mereka. Tindakan
impulsif sering dilakukan, sebagian karena mereka tidak sadar dan belum bisa
memperhitungkan akibat jangka pendek atau jangka panjang.
5. Pada
usia 16 tahun ke atas, keeksentrikan remaja akan berkurang karena telah sering
dihadapkan pada dunia nyata. Remaja akan mulai sadar bahwa orang lain ternyata
memiliki dunia tersendiri dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi atau
dipikirannya. Pada saat ini, remaja mulai dihadapkan dengan realita dan
tantangan untuk menyesuaikan impian atau angan-angan mereka dengan kenyataan.
2.6
Periode Perkembangan Psikologis Remaja.
Hurlock
(1994) mengemukakan beberapa periode dalam perkembangan psikologis remaja,
antara lain:
1. Periode
peralihan, yaitu peralihan dari tahap perkembangan sebelumnya ke tahap
perkembangan selanjutnya secara berkesinambungan. Dalam setiap perode
peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang
harus dilakukan. Dalam periode ini remaja menentukan pola perilaku, nilai dan sifat
yang sesuai dengan dirinya.
2. Periode
perubahan, yaitu perubahan emosi, perubahan peran dan minat, perubahan perilaku,
dan perubahan sikap.
3. Periode
bermasalah, yaitu periode yang ditandai dengan munculnya berbagai masalah yang
dihadapi oleh remaja dan sering sulit untuk bisa diatasi. Hal tersebut
disebabkan oleh karena remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah,
namun ingin menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.
4. Periode
pencarian identitas diri, yaitu pencarian kejelasan mengenai siapa dirinya dan
apa perannya dalam masyarakat. Pencarian identitas diri, seringkali dilakukan
oleh remaja dengan menggunakan simbol status dalam bentuk mobil, pakaian,
ataupun barang-barang yang dapat terlihat. Periode ini sangat dipengaruhi oleh
kelompok sebayanya.
5. Periode
yang menimbulkan ketakutan, yaitu periode dimana remaja memperoleh stereotipe
sebagai remaja yang tidak dapat percaya dan berperilaku merusak. Stereotipe
tersebut mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya sendiri.
6. Periode
yang tidak realistik, yaitu periode dimana remaja memandang kehidupan dimasa
yang akan datang melalui idealismenya sendiri yang cenderung saat itu tidak
realistik.
7. Periode
ambang masa dewasa, yaitu masa semakin mendekatnya usia kematangan dan berusaha
untuk meninggalkan periode remaja dan memberikan kesan bahwa mereka sudah
mendekati dewasa.
2.7
Hubungan antara Psikologi Remaja dengan
Penundaan Usia Perkawinan.
Berdasarkan
beberapa periode perkembangan psikologis remaja diatas, maka periode ambang
masa dewasa merupakan periode dimana usia remaja mendekati usia kematangan baik
dari segi fisik maupun psikologis. Pada periode tersebut, remaja berusaha untuk
meninggalkan ciri masa remaja dan berupaya memberikan kesan bahwa mereka sudah
mendekati dewasa. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku
yang dihubungkan dengan status dewasa, seperti keseriusan dalam membina
hubungan dengan lawan jenis.
Berkaitan
dengan perkawinan, maka pada periode ambang masa dewasa, individu dianggap
telah siap mengahadapi suatu perkawinan dan kegiatan-kegiatan pokok yang
bersangkutan dengan kehidupan berkeluarga. Pada masa tersebut, seseorang
diharapkan memainkan peran baru, seperti peran suami/isteri, orang tua, dan
pencari nafkah (Hurlock, 1993). Namun demikian, kestabilan emosi umumnya
terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki masa
usia dewasa. Masa remaja, boleh dibilang baru berhenti pada usia 19 tahun dan
pada usia 20-24 tahun dalam psikologi, dikatakan sebagai usia dewasa muda. Pada
masa ini, biasanya mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa
yang lebih stabil. Maka, kalau pernikahan dilakukan dibawah 20 tahun secara
emosi remaja masih ingin bertualang menemukan jati dirinya.
Perkawinan
bukanlah hal yang mudah, di dalamnya terdapat banyak konsekuensi yang harus
dihadapi sebagai suatu bentuk tahap kehidupan, di dalamnya terdapat banyak konsekuensi
yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk tahap kehidupan baru individu dan
pergantian status dari lajang menjadi seorang isteri atau suami yang menuntut
adanya penyesuaian iri terus-menerus sepanjang perkawinan ( Hurlock, 1993 ).
Masalah penyesuain diri dalam berumah tangga merupakan hal yang paling pokok
dalam membina kebahagiaan dan keutuhan rumah tangga.
Perkawinan
bukan hanya hubungan antara dua pribadi, akan tetapi juga merupakan suatu
lembaga sosial yang diatur oleh masyarakat yang beradab untuk menjaga dan
memberikan perlindungan bagi anak-anak yang akan dilahirkan dalam masyarakat
tersebut, serta untuk menjamin stabilitas dan kelangsungan kelompok masyarakat
itu sendiri. Banyaknya peraturan-peraturan dan larangan-larangan sosial bagi sebuah
perkawinan membuktikan adanya perhatian yang besar dari masyarakat untuk sebuah
perkawinan yang terjadi.
Kesiapan
psikologis menjadi alasan utama untuk menunda perkawinan. Kesiapan psikologis
diartikan sebagai kesiapan individu dalam menjalankan peran sebagai suami atau
isteri, meliputi pengetahuan akan tugasnya masing-masing dalam rumah tangga.
Jika pasangan suami isteri tidak memiliki pengetahuan yang cukup akan
menimbulkan kecemasan terhadap perkawinan. Akan tetapi sebaiknya bila pasangan
suami isteri memiliki pengetahuan akan tugasnya masing-masing akan menimbulkan
kesiakan psikologis bagi kehidupan rumah tangga. Pasangan yang siap secara
psikologis untuk menikah akan bersikap tidak saja fleksibel dan adaptif dalam
menjalani kehidupan rumah tangga akan tetapi melihat kehidupan rumah tangga
suatu yang indah.
Keuntungan
dari perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang siap secara psikologis adalah
mereka akan menyadari inplikasi dari sebuah perkawinan dan menyadari arti dari
perkawinan bagi kehidupannya. Oleh karena itu kesiapan psikologis sangat
diperlukan dalam memasuki kehidupan perkawin agar pasangan siap dan mampu
menghadapi berbagai masalah yang timbul dengan cara yang bijak, tidak mudah
bimbang dan putus asa.
Hanya
pasangan suami isteri yang mampu melakukan penyesuaian diri dalam kehidupan
rumah tangga yang akan berhasil menwujudkan kehidupan rumah tangga yang di
inginkannya. Kesiapan psikologis berkaitan denganpemenuhan hak dan tanggu jawab
yang harus diemban oleh masing-masing pihak berkaitan dengan hal tersebut, maka
untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejatera, seorang dalam suami/isteri
harus benar siap dan benar-benar matang secara psikologis.
Pasangan
yang memiliki kesipan untuk menjalani kehidupan perkawinan akan lebih mudah
menerima dan menghadapi segala konsekuensi persoalan yang timbul dalam
perkawinan. Sebaliknya, pasangan yang tidak memiliki kesiapaan menuju kehidupan
perkawinan belum dapat disebut layak untuk melakukan perkawinan, sehingga
mereka dianjurkan untuk melakukan penundaan atau pendewasaan usia perkawinan.
Penundaan
usia perkawinan sampai pada usia minimal 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun
bagi laki-laki diyakini banyak memberikan keuntungan bagi pasangan keluarga.
Perkawinan usia dewasa juga akan memberi keuntungan dalam kesiapan psikologis.
Semua bentuk kesiapan ini mendukung pasangan untuk dapat menjalankan peran baru
dalam keluarga yang akan dibentuknya agar perkawinan yang dijalani selaras,
stabil dan pasangan dapat merasakan kepuasan dalam perkawinannya kelak.
BAB III
TINJAUAN
3.1
Pengumpulan Data Dasar
1. Pengkajian.
Pengkajian dilakukan pada tangal 30 Januari 2015
pukul.20:00 Wib di Rumah bersalin mandiri (Bidan Eni Suhaeni) sepatan Tangerang
dengan teknik pengumpulan data wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik.
A. IDENTITAS/BIODATA
Nama
ibu : Ny.S
Umur :19 tahun
Suku/Kebangsaan : Sunda/Indonesia
Agama :Islam
Status
Perkawinan : Sah
Pendidikan
Terakhir : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah
tangga
Alamat :Kosambi
NO
Tlp : 021
37896xxx
Penanggung
jawab pasien
Nama suami : Tn. J
Umur : 23 tahun
Agama : Islam
Pendidikan
Terakhir : SMA
Pekerjaan
: Karyawan
Alamat : Kosambi
Nomor
hp : 085698xxx
B.
ANANMNESA (DATA SUBYEKTIF)
Pada
tanggal : 29 januari 2015 pukul
: 13 : 30 WIB
1. Alasan
kunjungan :Ingin memeriksa
kehamilannya.
2. Keluhan :Mules,
pusing dan demam sejak satu hari yang lalu
3. Riwayat
Menstruasi
Menarche :
14 tahun
Siklus : 28 hari
Banyaknya : 2 kali ganti pembalut
Desminore : Tidak ada
Teratur/Tidak teratur : Teratur
Lamanya : 7 hari
Sifat darah : Cair, gumpal
HPHT : 01 mei 2014
C. PEMERIKSAAN
FISIK (DATA OBYEKTIF)
PEMERIKSAAN UMUM
Kesadaran
umum :
Baik
Keadaan
Emosional : Stabil
Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda
vital
Tekanan
darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80 kali/menit
Pernafasan : 20 kali/menit
Suhu : 38,8 C
Tinggi
badan : 158 cm
LILA : 26 cm
Berat
badan : 55 kg (saat
ini ) 45 kg (sebelum hamil)
PEMERIKSAAN
KHUSUS (head to toe)
Kepala
Muka/wajah :
Tampak bersih
Odema :
Tidak ada oedema
Cloasma
: Tidak ada cloasma
Mata
Konjungtiva :
Tampak berwarna merah muda
Skelera :
Tampak berwarna putih (normal)
Hidung
Secret/serumen : Tidak ada pengeluaran secret
Polip : Tidak ada polip
Telinga
Secret/serumen : Tidak ada pengeluaran secret
Polip : Tidak ada polip
Mulut
Bibir : Tidak kering tidak pecah-pecah
Gigi : Tidak ada karies
Leher
Kelenjar Thyroid :
Tidak ada pembesaran kelenjar
thyroid
Kelenjar
Getah Bening : Tidak ada pembesaran
kelenjar getah bening
Payudara
Bentuk : Simetris
Ukuran : Kanan
dan kiri sama
Tanda kehamilan : Hiperpigmentasi Aerola
Puting susu :
Menonjol
Kondisi
Kulit : Normal
Abdomen
Bekas Luka
operasi : Tidak ada bekas luka
operasi
Benjolan
abnormal : Tidak ada
Kandung kemih : Kosong
Bentuk : Bulat
Tanda
kehamilan : Terdapat Striae
gravidarum
Gerakan
Janin : Aktif
Ekstremitas atas bawah
Ekstremitas Atas
Nyeri Menggenggam : Tidak ada nyeri saat menggenggam
Oedema : Tidak ada oedema
Pucat : Pucat
Ekstremitas bawah
Oedema : Tidak ada oedema
Varises : Tidak ada varises
Refleks Patella
: Kanan dan kiri positif ( + )
Punggung
Odema daerah
sacral : Tidak ada
Posisi Tulang
Belakang : Lordosis fisioligi
Pemeriksaan
Obstrektik
TFU : 32 cm
Leopold I : Pada bagian fundus teraba bagian yang
lunak,bulat dan tidak melenting.
Leopold II : Disebelah kanan abdomen ibu teraba
bagian-bagian kecil tidak penuh,pada bagian sebelah kiri teraba bagian keras
panjang memapar dan ada tahanan.
Leopold III :
Bagian bawah teraba bulat keras, melintang dan tidak dapat digoyangkan.
Leopold IV :
Kepala sudah masuk panggul.
DJJ : 140 x / menit teratur
Anogenital
Vulva Vagina : Tidak dilakukan
Peineum : Tidak dilakukan
pemeriksaan
Pengeluaran : Tidak dilakukan
pemeriksaan
Anus : Tidak
dilakukan pemeriksaan
Hemoroid : Tidak dilakukan
pemeriksaan
Varises oedem : Tidak dilakukan pemeriksaan
D.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan
pemeriksaan penunjang
II. INTERPRETASI DATA
Diagnosa
: Ny. S usia 19 tahun, suami Tn.
J usia 23 tahun dengan kehamilan 39 minggu
Dasar :
pernikahan pertama tahun 2013 pada usia 18 tahun HPHT: 01 mei 2014
Masalah : kecemas
Dasar
: Ibu merasa cemas dengan
kehamilannya saat ini karena belum paham mengenai peran sebagai ibu.
Kebutuhan :
Berikan motivasi atau dukungan pada ibu agar ibu merasa tenang saat menyambut
persalinnannya dan psikologi ibu tidak terganggu.
E. Perencanaan
1. Beritahu
ibu tentang keadaan ibu agar ibu mengetahui keadaannya saat ini.
2. Berikan
informasi kepada ibu tentang tanda-tanda bahaya kehamilan trimester 3 agar ibu
mengetahuinya dan bisa berhati-hati dalam menjaga kehamilannya.
3. Beritahu
ibu informasi tentang persiapan persalinan agar ibu mempersiapkannya dan
mengetahui apa saja yang di perlukan pada saat persalinan.
4. Anjurkan
ibu untuk istirahat yang cukup dan menjaga pola makan yang sehat agar kesehatan
ibu dan janin bisa terjaga.
5. Berikan
ibu motivasi dan dukungan agar ibu tidak mengalami depresi kehamilan dan
psikologi nya tidak terganggu.
F. Pelaksanaan
Pada tanggal : 29 januari 2015 Pukul : 13.30 WIB
1. Memberitahu
ibu tentang kondisinya saat ini tekanan darah 120/80 mmHg, N : 80 x / menitR :
20 x / menit, S : 38,8.
2. Memberikan
informasi kepada ibu tentang tanda-tanda bahaya kehamilan trimester 3 yaitu terjadi
ketuban pecah dini, persalinan prematur, gerakan janin berkurang.
3. Memberitahu
ibu informasi persiapan persalinan yaitu terdiri dari biaya persalinan, tempat
persalinan, penolong persalinan, dan kebutuhan bayi.
4. Memberikan
ibu motivasi dan dukungan untuk kematangan psikologi menyambut bayinya seperti
mendampingi ibu saat pemeriksaan kehamilan, memperhatikan pola makan dan
istirahat ibu.
G. Evaluasi
1. Ibu
sudah paham dan mengerti hasil pemeriksaannya.
2. Ibu
sudah mengetahui tentang tanda-tanda bahaya kehamilan trimester 3 dan bersedia
datang ke petugas kesehatan jika terjadi tanda bahaya tersebut.
3. Ibu
mengerti dan telah mempersiapkan apa saja yang diperlukan pada saat persalinan.
4. Ibu
merasa nyaman dan tenang saat diberikan dukungan dan diberikan perhatian.
BAB
IV
PEMBAHASAN
Dari
kasus diatas di dapat klien bernama Ny.S umur 19 tahun menikah pada usia 17
tahun dimana organ reproduksi pada usia tersebut belum matang, karena usia yang
produktif dimulai pada wanita yang berusia 20 tahun.Pada wanita organ
reproduksi tumbuh pesat pada usia 16 tahun. Pada masa tahun pertama menstruasi
dikenal dengan tahapan kemandulan remaja, yang tidak menghasilkan ovulasi atau
pematangan dan pelepasan sel telur yang matang dari folikel dalam indung telur.
Organ reproduksi dianggap sudah cukup matang di atas usia 18 tahun, pada usia
rahim (uterus) bertambah panjang dan indung telur bertambah berat. Dalam masa
reproduksi, usia dibawah 20 tahun seorang remaja masih dalam proses tumbuh
kembang baik secara fisik maupun psikis proses pertumbuhan berakhir pada usia
20 tahun, dengan alasan ini maka wanita di anjurkan menikah pada usia tersebut.
Selain
itu juga faktor psikolog juga sangat mempengaruhi keadaan emosional
siibu,seperti depresi selama kehamilan,(cemas, gelisah,mudah marah,tidak
percaya diri dan terlalu sensitif),pada saat pasca persalinan pun faktor
psikologi sangat berpengaruh yang lebih dikenal dengan post partum depression.
Untuk
menghindari hal tersebut dukungan dan motivasi dari keluarga sangat membantu
siibu dalam menghadapi kehamilan diusia yang sangat muda,sangat dibutuhkan seperti
menemani kebidan saat memeriksa kehamilannya,memperhatikan pola makan dan istirahat,memberi
support bahwa menjadi calon ibu adalah hal yang banyak diimpikan oleh setiap
wanita.karna tidak semua wanita bisa hamil,meyakinkan siibu bahwa bebannya
selama kehamilan akan terbayar saat suara tangis bayi terdengar,menyiapkan
segala perlengkapan bayi juga.
Fisik
manusia timbul berangsur-angsur sesuai dengan pertumbuhan manusia. (elizabeth
B.Harlock 1993 hal 183). Didapatkan hasil dari pemeriksaan Ny.s semua normal ia
hanya cemas pada kehamilan dan proses persalinannya, namun suami dan keluarga
terus memberikan dukungan sampai proses persalinanya berakhir.
KESIMPULAN
Penundaan
usia perkawinan sampai pada usia minimal 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun
bagi laki-laki diyakini banyak memberikan keuntungan bagi pasangan keluarga. Perkawinan
usia dewasa juga akan memberi keuntungan dalam kesiapan psikologis. Semua
bentuk kesiapan ini mendukung pasangan untuk dapat menjalankan peran baru dalam
keluarga yang akan dibentuknya agar perkawinan yang dijalani selaras, stabil
dan pasangan dapat merasakan kepuasan dalam perkawinannya kelak.
Namun
jika remaja berusia dibawah 20 tahun sudah menikah di haruskan untuk menunda
kehamilan sampai organ reproduksinya telah matang usia 20 tahun, karena akan
dapat banyak terjadi resiko-resiko selama kehamilan maupun dalam proses
persalinannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Muadz,
Masri.2010.Pendewasaan Usia Perkawinan
dan Hak-Hak Reproduksi bagi Remaja Indonesia.Jakarta: BkkbN
B.Curtis Glade, 2011.panduan paling komplit kehamilan minggu ke minggu.Yogyakarta:
mitra buku
Kementrian Kesehatan RI 2010.riset kesehatan dasar riskesda.Jakarta:
badan penelitian dan pengembangan kesehatan